SEJARAH LAWANG KORI

 SEJARAH LAWANG KORI

NAMPUDADI



Pada awalnya, Lawang (Kori) adalah tempat mesanggrahnya Pangeran Adipati Anom yang terlebih dahulu meninggalkan Kraton saat terjadi pemberontakan Trunajaya (1677). Amangkurat I awalnya melarikan diri dan bersembunyi di Pemakaman Imogiri, tetapi kemudian ia menyusul ke barat hingga sampai di “Panjer Bagelen” menempuh waktu selama 4 hari dan bertemu putra sulungnya “Adipati Anom” di Nampudadi. Dalam perjalanan menuju Nampudadi.

Amangkurat I yang sedang sakit diobati oleh pemimpin Panjer saat itu dengan air kelapa tua (aking). Atas jasanya, Amangkurat I memberi gelar pemimpin Panjer dengan sebutan Kalapa Aking (selanjutnya lebih dikenal sebagai Kolopaking).

Dari kediaman Kalapaking di pusat kota Panjer, Amangkurat I kemudian diantarkan ke Nampudadi. Di tempat inilah Amangkurat I menyerahkan beberapa barang berharga Kerajaan Mataram yang bisa dibawanya kepada Adipati Anom dan menobatkan putra sulungnya tersebut sebagai Amangkurat II dihadapan para mantri dengan gelar “Susuhunan Amangkurat Senopati Ngalaga”.

Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan menuju Banyumas. Dalam perjalanan dari Nampudadi ke Banyumas, Amangkurat I jatuh sakit dan semakin parah saat sampai di Ajibarang. Merasa ajalnya sudah dekat, Amangkurat I berpesan kepada Adipati Anom (yang saat itu sudah dilantik) untuk meminta bantuan kepada Kapten Moor di Batavia.

Sesampainya di Wanayasa, Amangkurat I meninggal dunia. Jenazahnya di bawa selama dua hari perjalanan menuju Tegal Wangi (Arum) untuk dimakamkan.

Foto : Ukiran Lawang Kori (Dok Ravie Ananda)

Situs Lawang (Kori) hingga saat ini masih terawat. Ada tradisi memboyong lawang tersebut setiap pergantian kepala desa, dari depan rumah kepala desa yang lama menuju halaman rumah kepala desa yang baru.

Tradisi inilah yang menyebabkan situs Lawang Kori tidak insitu. terdapat ukiran simbol berupa “Burung besar yang mengejar binatang beserta anaknya yang berlari di belakang raja naga” di situs yang kini hanya berupa fragmen dinding dan pintu berbahan kayu.

Ukiran tersebut sebagai simbol peristiwa pelarian Amangkurat I dan Adipati Anom (putra sulungnya) ke Panjer dari kejaran Trunajaya yang berhasil menguasai Kraton Mataram (ravie ananda).

Peninjauan situs Lawang (Kori) oleh BPCB Jateng didampingi oleh Yayasan Wahyu Pancasila pada tahun 2017. Lawang Kori juga telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya oleh Dinas Pendidikan Kab. Kebumen.

Setiap kali pergantian Kepala Desa Nampudadi Kecamatan Petanahan, ada satu tradisi menarik yang selalu dilakukan, yakni pemindahan benda keramat yang sebelumnya berada di sekitar rumah mantan kepala desa kemudian diboyong ke rumah kepala desa baru.
Lawang Kori, begitulah masyarakat setempat menyebutnya sebagai benda keramat. Lawang yang berarti pintu sedangkan Kori adalah pembuka, merupakan sebuah pintu berusia ratusan tahun yang berasal dari Kerajaan Mataram. Secara kasat mata, benda berbahan kayu jati dengan panjang sekitar tiga meter itu terdapat ukiran bertuliskan aksara jawa kuno serta gambar binatang.

Masyarakat nampak berjubel begitu antusias menyaksikan boyongan benda keramat yang diselimuti beberapa lapisan kain jarik. Tabuhan gamelan kuda lumping pun mengiringi kedatangan Lawang Kori yang ditempatkan di sebelah kiri rumah kepala desa. Aroma kembang serta kemenyan tercium saat sebagian masyarakat mendirikan rumah kayu berukuran 2×3 meter persegi sebagai penyangga.

Setiap kali pergantian Kepala Desa Nampudadi Kecamatan Petanahan, ada satu tradisi menarik yang selalu dilakukan, yakni pemindahan benda keramat yang sebelumnya berada di sekitar rumah mantan kepala desa kemudian diboyong ke rumah kepala desa baru.
Lawang Kori, begitulah masyarakat setempat menyebutnya sebagai benda keramat. Lawang yang berarti pintu sedangkan Kori adalah pembuka, merupakan sebuah pintu berusia ratusan tahun yang berasal dari Kerajaan Mataram. Secara kasat mata, benda berbahan kayu jati dengan panjang sekitar tiga meter itu terdapat ukiran bertuliskan aksara jawa kuno serta gambar binatang.
Masyarakat nampak berjubel begitu antusias menyaksikan boyongan benda keramat yang diselimuti beberapa lapisan kain jarik. Tabuhan gamelan kuda lumping pun mengiringi kedatangan Lawang Kori yang ditempatkan di sebelah kiri rumah kepala desa. Aroma kembang serta kemenyan tercium saat sebagian masyarakat mendirikan rumah kayu berukuran 2×3 meter persegi sebagai penyangga.


Comments

Post a Comment